Legenda Raden Rangga
Raden Rangga adalah putra panembahan senopati yang hidup pada masa kerajaan Mataram. Dia di kenal tampan dan sakti. Akan tetapi sayang, kelebihan itu justru membuatnya jadi sombong. Bahkan kepada ayahandanya sendiri.
"Rangga tolong pijati ayah, rasanya tubuh ayah sakit dan pegal". Ujar panembahan senopati suatu hari. Sebagai anak yang patuh kepada orang tua, Raden rangga segera memenuhi permintaan ayahya. Ketika memijat ayahya itulah, Raden rangga di tegur atas sikapya yang sombong selama ini.
"Rangga, dalam hidup ini itu tidak ada orang yang paling sakti. Di atas gunung masih ada gunung." kata ayah ya dengan lembut."Selama ini kamu merasa paling sakti bukan?"ujar ayahnya sambil sedikit menggeser tubuhya.
Raden Rangga hanya menunduk mendengar teguran ayahya."Cobalah kalau kamu benar benar sakti, patahkanlah jari telunjuk ayah!" ujar panembahan senopati sambil menyodorkan jari telunjukya.
Raden Rangga dengan sekuat tenaga berusaha mematahkan jari telunjuk ayahya. Panembahan senopati hanya tersenyum melihat muka Raden Rangga yang merah padam karena memendam malu dan sakit hati.
Dengan wajah tertunduk, Raden rangga mohon maaf ke pada ayahya dan berjanji tidak bersikap sombong kepada orang lain. Akan tetapi, dalam hati ayahnya tahu bahwa janji rangga tidak dinyatakan setulus hati. Karena itulah, penembahan senopati meminta Raden Rangga untuk melakukan olah batin di kediaman adipati wasis jaya kusuma di pati.
Ketika baru berada di kadipaten pati, Raden Rangga memang menunjukan perubahan. Akan tetapi, lama kelamaan penyakit lamanya kambuh lagi. Suatu hari dia berjalan jalan di alun alun sambil membawa pedang untuk menunjukan kehebatanya, pedang itu di tusuk-tusukan ke tubuhya sendiri. Apa yang terjadi? Bukanya dia menderita luka tetapi pedangya yang melengkung akhirya patah.
"He kamu ke sini! Tunjukan ke padaku siapa orang yang paling sakti di kadipaten pati ini. Karena takut, ahirya raden rangga di antar prajurit tersebut mendatangi orang bertapa di tengah hutan. Dari ke palanya memancarkan cahaya ke putihan. Rasa takjub itu justru membuat raden rangga ingin mencoba ke saktianya sang petapa. Kalo kamu memang sakti ayo lawan aku.'' petapa itu hanya diam, memandang ke tanah sambil mehela navas sebentar, raden rangga akan mati di lilit ular naga, ujarya dengan mata kelihatan sedih. Apa yang dikemukakan petapa itu terbukti. Ketika raden rangga di suruh pulang ke kerajaan mataram oleh adi pati wasis, dia berpapasan ular naga yang dengan ganas melilit tubuh raden rangga. Mengetahui peristiwa itu, panembahan senopati berdoa agar kesalahan putranya di ampuni maha kuasa.
Kiriman dari Slamet Sahroni 24 Januari jam 4:14