TAFAKUR DIAM
“Maka hendaklah berkata yang baik-baik atau diamlah.”
Nabi Muhammad SAWSeorang pujangga Arab pernah bekata, “Lidah itu lebih tajam dari ujung tombak yang terhunus.” Atau, barangkali, sebagian kita ada yang berpikir lebih dari apa yang di perumpamakan pujangga Arab itu. Bahwa sebilah ujung tombak belumlah memadai untuk melukiskan perihnya lidah. Bisa jadi, kejahatan lewat lidah itu memiliki daya penghancur layaknya sebuah dinamit yang mampu meluluh lantahkan satu bangunan megah.
Begitulah, betapa tutur kata yang keluar dari sepotong lidah bisa lebih menyakitkan ketimbang benda-benda tajam lainnya. Ia bukan sekedar sebaris kalimat yang meluncur dari mulut kita, lalu hilang bersama angin. Tapi juga sederet makna dan pesan yang bisa ditangkap oleh setiap orang dengan segala tafsirnya. Dan kemudian, ia menyelinap ke dalam sanubari sang pendengar. Ada yang terluka karena kata-kata yang kita sampaikan, ada pula yang merasa di bahagiakan.
Persoalannya kita tidak tahu, apakah kata yang kita ucapkan itu menyakitkan atau maneduhkan ?? Kata-kata itu mbrojol keluar begitu saja, entah dalam perbincangan sehari-hari, diskusi atau pun dalam sekedar senda gurau belaka. Bagi kita yang bertutur, mungkin tidak jadi masalah, namun belum tentu bagi orang yang mendengar.
Bagi mereka, sejumlah kata yang melukai akan memiliki pengaruh yang luar biasa. Mulai dari orang yang menerimanya dengan tangis, dendam kesumat, sumpah serapah, kutukan, merasa terhina, baku hantam, putus asa, sampai pembunuhan sekalipun. Karena itu, pernahkah kita merenungkan dampak-dampak tersebut di hati mereka ?? Pernahkah kita membayangkan sakitnya berada pada posisi mereka.
Dari sini nampak, bahwa kejahatan lidah lebih berbisa dari sekedar bisa ular. Ia bahkan menjadi tempat segala keburukan bermuara. Tak aneh, bila Al-Hadits Al-Muhasibi, dalam buku Adab Al-Nufus (Tulus Tanpa Batas versi terjemahnya), berkomentar, “Janganlah lengah soal lidah, sebab ia bagaikan seekor hewan buas berbahaya yang mangsa pertamanya adalah pemiliknya sendiri. Tutuplah pintu omonganmu sekuat-kuatnya. Jangan membukanya kecuali jika harus membukanya. Jika engkau membukanya, maka hati-hatilah. Penuhi kebutuhanmu untuk berbicara sekadarnya saja dan tutup lagi pintu lisan itu.”
Oleh karena itulah, Rasulullah SAW. Menyodorkan ‘diam’ sebagai solusinya. Sabdanya, “Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT. Dan Hari Akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau (kalau tidak) diamlah.” (H.R. Bukhari)
Dari sinilah, diam menjadi teramat penting maknanya. Dengan diam, kita belajar menyaring kata, menakar ucapan, dan menyampaikan kata sesuai porsi dan keperluannya. Dan, sekitarnya kita harus mengeluarkan kata-kata, sebaiknya sederet kalimat yang kita lahirkan telah tersaring menjadi sebuah ungkapan yang benar-benar berfaedah. Begitu pula, dalam bersenda gurau.
Dengan cara ini, kita tidak hanya menjadi penutur yang baik, tapi juga pendengar yang bijak. Jika tidak, maka bersiap-siaplah memasuki pintu neraka sebagai mana Rasulullah katakan kepada Mu’adz bin Jabal, “Tidak mungkin manusia akan terus di dalam neraka kecuali karena hasil panen lidah mereka.” (HR.Tirmidzi).
Wallahu’alam bil shawab.
Kiriman Nely Faizal Ucup X_6, 19 Januari jam 21:55
Posted by mading man sumpiuh
on 00.11. Filed under
.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
Feel free to leave a response